Monday, February 15, 2010

10 Alasan untuk melakukan kajian Interdisiplin

Salah satu yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya adalah kemampuannya untuk mengembangkan penggunaan alat (teknologi) untuk menunjang kehidupannya. Penggunaan alat diinterpretasikan sebagai tanda intelijensia, bahkan muncul teori-teori yang menyatakan penggunaan alat telah menstimuli beberapa aspek evolusi manusia- terurama pada perkembangan otak manusia. Singkat kata teknologi dan perkembangan peradaban manusia berkorelasi sangat positif. Dan mempersingkat cerita ratusan atau puluhan ribu tahun perkembangan peradaban manusia dan teknologi, telah tiba kita pada masa kita, era kapitalisme.

Kita hidup bukan pada era prasejarah, era perbudakan klasik, ataupun era raja-raja feudalism. Kini kita hidup pada era Kapitalisme lanjut, dimana hubungan kerja menggunakan sistem upah buruh. Di bawah Kapitalisme, akumulasi modal yang agresif membuat proses industrialisasi semakin kompleks. Kompleksitas industrialisasi ini terlihat dari semakin kompleksnya pembagian kerja (division of labour) yaitu spesialisasi dalam hubungan kerja dalam tugas dan peran yang spesifik, bertujuan untuk meningkatkan produktivitas kerja

Harmonis dengan perkembangan industri, berkembang juga sektor yang menopang industri tersebut yaitu sektor produksi pengetahuan. Sekarang, kita sudah tidak lagi memikirkan lagi adanya kemungkinan menjadi ilmuwan renaisans a la Leonardo da Vince. Perlahan tapi pasti pada abad ke-19, idealism kesatuan badan ilmu pengetahuan, --ketika seorang ilmuwan menguasai seluruh bagian ilmu dan seni--, terdesak oleh spesialisasi. Aggregat pengetahuan manusia yang membesar, dan fakta bahwa tiap manusia diberkahi seperangkat perilaku yang unik, mengakibatkan ilmuwan dan seniman terdampar pada kompetensi yang semakin menyempit.

Tidak seorang pun pada masa kini yang secara rasional mengaku bahwa mereka mengetahui semua hal dalam semua bidang, atau bahkan semuanya pada bidangnya sendiri. Ketimbang berusaha memahami disiplin ilmu yang lain, kita diterjang oleh arus badai informasi baru setiap hari. Untuk melindungi diri dari tenggelam dan memiliki satu pijakan, kita berusaha menambatkan diri pada pulau pembelajaran dan pengetahuan yang semakin sempit.[1] Dan tidak jarang muncul arogansi berbasis disiplin ilmu, ketika semua berusaha melindungi teritorinya, menolak berkomunikasi satu sama lain, dan menolak intrusi disiplin ilmu lainnya.[2]

Perkembangan di masyarakat kontemporer kini menciptakan perubahan lanskap dalam produksi pengetahuan. Perkembangan ini termasuk perubahan peran dalam institusi pengetahuan (akademik) dalam kerangka industri pengetahuan global; yaitu meningkatnya permintaan atas produksi pengetahuan untuk mengatasi permasalahan lingkungan hidup secara nasional dan global; dan perubahan dalam demografi pengetahuan karena pendidikan dan informasi menjadi lebih terdistribusi.

Upaya untuk menjawab tantangan baru perubahan konteks ini adalah praktek lintas batas disiplin ilmu. Russel et.all mengidentifikasi beberapa bentuk lintas batas disiplin ilmu yaitu transdisipliner, multidisipliner, dan interdisipliner.[3] Interdisiplineritas yaitu ketika masalah yang bertumpang tindih antar disiplin ilmu dikaji oleh ilmuwan dari dua atau lebih disiplin ilmu. Multidisiplin yaitu ketika spesialis berbagai disiplin ilmu bekerja sama dengan mempertahankan perspektif dan pendekatan disiplin ilmu mereka. Sementara itu, transdisplineritas lebih maju dalam meleburkan batas-batas disiplin ilmu. Karakteristik potensial dari transdisiplineritas termasuk, fokus pada permasalahan (riset berasal dan dikontekstualisasikan dengan masalah di dunia nyata), berkembangnya metodologi dan kolaborasi antar aktor yang luas. Sebagai contoh dalam transdisiplin adalah berkembangnya disiplin ilmu baru Human Ecology yang melebur teori, komponen, dan pengetahuan dari disiplin ilmu lain seperti Ekonomi, Politik, Teknik Lingkungan.

Dalam upaya mempermudah pendefinisian interdisipliner, Nissani membagi Interdisiplineritas dalam berbagai komponen seperti multidisciplinarity, pluridisciplinarity, crossdisciplinarity, dan transdisciplinarity.[4] Sebagai pendahuluan, ia melihat disiplin sebagai wadah pengalaman manusia yang khusus dan memiliki komunitas ahlinya sendiri. Interdisipliner dilihat sebagai menggabungkan komponen-komponen tertentu dari dua atau lebih disiplin ilmu.

Dalam diskursus akademik, interdisiplineritas mencakup empat bidang: pengetahuan, riset, pendidikan dan teori. Pengetahuan interdisipliner melibatkan kesamaan komponen dari dua atau lebih disiplin. Riset interdisipliner menggabungkan komponen dari dua atau lebih disiplin dalam rangka mencari pengetahuan, praktek dan ekspresi artistik yang baru. Pendidikan interdisipliner menggabungkan komponen dua atau lebih disiplin dalam satu program instruksi. Teori interdisipliner mengambil pengetahuan, riset dan pendidikan interdisipliner sebagai objek kajian utamanya.

Tidak jarang kita menemukan penolakan terhadap pengetahuan yang bersifat interdisipliner atau riset yang merefleksikan kesalahpahaman dalam pentingnya kontribusinya pada (1) perkembangan pengetahuan dan keilmuan, (2) keuntungan sosial bagi masyarakat dan (3) individu. Tulisan ini merupakan pembelaan atas pengetahuan dan riset interdisipliner, yang sangat penting karena 10 alasan-alasan berikut:[5]

1. Kreativitas membutuhkan pengetahuan interdisipliner.

Proses penemuan kerapkali mencakup tindakan menggabungkan ide yang sebelumnya tampak tidak berkaitan. Pemikiran yang kreatif kerap menghasilkan ide yang tidak lazim tapi membuahkan permutasi yang produktif. Aspek yang digabungkan bisa berasal dari satu disiplin, atau berasal dari permutasi ide dari dua atau lebih disiplin.

2. Pendatang baru seringkali memberikan kontribusi yang penting pada bidangnya yang baru

Observasi pendatang baru dapat membuka mata atas hal-hal yang baru. Misalnya di bidang antropologi, pendatang baru bisa melihat aspek aspek budaya yang kasat mata bagi penduduk asli. Para pendatang pun lebih cermat untuk tidak mengabaikan anomali.

3. Penganut disiplin ilmu tertentu seringkali melakukan kesalahan yang hanya bisa terdeteksi oleh orang yang memahami dua atau lebih disiplin ilmu

Pengamatan lintas disiplin berguna karena jurang antar disiplin ilmu terlalu luas. Sehingga tidak jarang ilmuwan mengambil kesimpulan yang bertabrakan dengan kesimpulan di disiplin ilmu lain akibat generalisasi atau tidak peka pada disiplin ilmu lain tersebut.

4. Banyak sekali topik-topik riset yang jatuh di persimpangan beragam disiplin ilmu.

Ruscio berargumen bahwa disiplin ilmu pada prakteknya tidak memiliki batas yang jelas selayaknya harapan para teoretisi disiplin ilmu tersebut.[6] Serta peneliti disipliner tampak mampu mengisi celah kosong yang produktif sehingga area abu-abu ilmu pengetahuan bisa diisi.

5. Banyak permasalahan intelektual, sosial dan praktikal memerlukan pendekatan interdisipliner.

Coba bayangkan sejarah pembangunan suatu negara. Beberapa tahun dan ribuan buku akan membawa kita pada kesimpulan, kebanyakan penulis gagal memahami secara keseluruhan karena terpaku pada satu disiplin ilmu saja. Kita harus ingat permasalahan yang muncul belum tentu datang dalam batasan satu disiplin ilmu saja. Misalnya reduksi polusi, ini bukan sekedar persoalan teknologi yang lebih baik saja, tetapi berkaitan dengan psikologi industri, efisiensi ekonomi, budaya pola hidup masyarakat, kebijakan politik, dan sebagainya.

Seorang negarawan bisa melakukan kesalahan karena tidak memahami aspek teknis, sosial atau alamiah dari suatu kebijakan: sangat berbahaya memiliki dua atau lebih budaya yang tidak berkomunikas. ilmuwan bisa memberikan saran yang buruk dan pengambil keputusan tidak bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Sejarah membuktikan bahayanya rekomendasi kebijakan yang terlalu sempit oleh mereka yang memiliki pengetahuan yang luas atau sebaliknya. Dalam dunia spesialisasi, seorang berpendidikan tinggi bisa tidak menyadari dimensi sosial dan moral dari tindakannya. Kompartementalisasi, selain rendahnya pendidikan adalah musuh besar yang hanya bisa ditaklukan oleh pendidikan yang menyeluruh.

6. Pengetahuan dan riset interdisipliner berguna akan mengingatkan kita akan idealnya kesatuan badan ilmu pengetahuan.

Tentu saja sekarang ini mustakhil untuk menguasai semua disiplin ilmu sekaligus. Tapi bila kita keliru mengartikan pengetahuan disiplin dengan kebajikan; jika kita lupa seberapa banyak kita tidak tahu; jika kita lupa seberapa besar kita tidak bisa tahu; jika kita tidak menginginkan, setidaknya sebagai prinsip, idealitas kesatuan badan ilmu pengetahuan; kita akan kehilangan sesuatu yang penting. Interdisiplineritas membantu kita mengingat hal ini, bahwa komponen komponen pengetahuan manusia merupakan pecahan dari keseluruhan bangunan pengetahuan.

7. Pelaksana praktek interdisipliner menikmati fleksibilitas yang lebih besar dalam risetnya.

Kebanyakan bidang ilmu mengalami kemajuan yang pesat, diikuti dengan periode stagnasi. Pada saat saat ini dalam konteks pribadi, ilmuwan yang berani pindah ke disiplin ilmu yang baru akan menikmati fleksibilitas dan kebebasan baru dalam karir mereka, sebuah imbalan personal untuk kesedian melintasi batas disiplin ilmu.

8. Ketimbang terpaku pada satu disiplin ilmu yang sempit, penganut interdisipliner sering merasakan sensasi intelektual yang mirip dengan penjelajahan di lahan yang baru.

Pada titik tertentu, imbal balik dari proses input tertentu mengecil secara progresif. Butuh berjam jam untuk belajar catur, dan tahunan untuk menjadi ahli. Hal serupa terjadi dalam dunia pembelajaran. Misalnya seorang ahli anatomi serangga dalam rangka menjadi ahli bisa jadi tidak pernah membaca Tolstoy atau tidak pernah mendengar Vivaldi akibat alokasi waktu yang ketat. Hidup ini telalu singkat untuk menjadi ahli dalam banyak bidang sekaligus. Agar menjadi ahli dalam bidangnya mereka berakhir hanya mengeksplorasi satu minat saja. Interdisiplineritas, kontras dengannya, selamanya memperlakukan diri mereka dengan intelektualitas yang setara dengan menjelajahi daerah eksotik.

9. Pelaksana ilmu Interdisipliner bisa menjembatani jurang komunikasi dalam akademi modern, karenanya membantu memobilisasi sumberdaya intelektual yang besar dalam membangun rasionalitas yang lebih besar.

Universitas modern hanya memiliki efektifitas yang sedang sebagai agen perubahan sosial. Kenyataannya dunia akademik menikmati kesuksesan yang minim dalam memobilisasi sumberdaya intelektualnya untuk memperbaiki masyarakat. Alasannya cukup jelas: fragmentasi disiplin ilmu membuat akademik pasif dihadapan dunia yang sewenang-wenang. Dalam komunitas dengan bahasa yang berlainan diperlukan komunikasi yang efektif untuk menggabungkan kekuatannya. Interdisiplineritas, dengan mengingatkan kita pada ideal kesatuan badan pengetahuan, dengan menguasai dua atau lebih bahasa akademik, bisa berkontribusi pada integrasi budaya akademik.

10. Dengan menjembatani disiplin ilmu yang terfragmentasi, interdisipliner bisa berperan dalam membela kebebasan akademik.

Penegakan nilai ekstrinsik akuntabilitas,nilai intrinsik pencarian reputasi dan kontrol kualitas dari rekan sejawat bisa mengarah kepada perbudakan intelektual dan kemudian pada kemandulan akademik. Akibat fragmentasi disiplin ilmu, akademisi kerap gagal mendeteksi ancaman besar pada kebebasan akademik ini. Pemahaman pentingnya kerjasama bisa menjadi pelindung melawan birokratisme yang berusaha menerapkan pengawasan yang ketat, berdasarkan indikator performa. Karenanya cukup penting untuk menjaga kebebasan seorang akademisi dalam memilih apa yang akan dikaji dan apa yang tidak.

Pendekatan lintas disiplin ilmu ini juga memiliki kelemahan. Pertama, untuk mendapatkan jarak pandang yang luas, seorang bisa jadi mengorbankan waktu untuk menjadi ahli di satu bidang. Kedua, perlu dihindari upaya melakukan generalisasi yang naïf akibat pengabungan beberapa disiplin ilmu. Ketiga, Ilmuwan yang dikategorikan lintas batas menghadapi hambatan profesi yang masih memprioritaskan spesialisasi disiplin ilmu. Keempat, interdisiplineritas kerap dicap sebagai kompetitor oleh spesialis disiplin ilmu.

Untuk mengatasi kelemahan ini haruslah melakukan perubahan cara berpikir. Akademik perlu memberi ruang bagi tumbuh kembangnya pengetahuan dan riset interdisipliner. Selayaknya ekosistem, akademik perlu merawat spesialis dan generalis demi terciptanya kemajuan akademik yang kaya. Perubahan cara berpikir ini salah satunya berkat tekanan imperatif lingkungan hidup.

Russel mengatakan pendekatan lintas disiplin semakin mendesak akibat tekanan permasalahan lingkungan hidup (environmental imperative).[7] Sejak tahun 1960an, masyarakat industry modern telah menyaksikan perubahan dramatis dari kepedulian sosial atas isu lingkungan. Berkembangnya gerakan sosial lingkungan hidup turut menekan pemerintah untuk mengakui dan menyelesaikan persoalan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh industri dan praktek sosial (gaya hidup) modern. Imperatif lingkungan hidup ini terlihat pada program ‘Manusia dan Biosfer’ dari UNESCO pada 1970an, Laporan Brundtland di 1980an dan Rio Earth Summit pada tahun 1990an.Lalu, Negara-negara merespon dengan membangun kementerian lingkungan hidup, meratifikasi perjanjian dan traktat isu-isu lingkungan hidup serta berpartisipasi pada pembangunan organisasi lingkungan hidup internasional. Salah satu indikasi meningkatnya kepedulian pada isu lingkungan hidup adalah bagaimana kemajuan pembangunan ekonomi ditekankan pada isu keberlanjutan.

Meskipun kepedulian meningkat, permasalahan lingkungan hidup semakin besar. Permasalahan ini terdokumentasikan di berbagai organisasi internasional seperti United Nations Environmental Programme (UNEP), UNFCC (Climate Change) atau UNDP. Permasalahan yang dihadapi dunia termasuk tapi tidak terbatas deforestasi, polusi air, tanah, udara, degradasi lahan subur, penggurunan, degradasi keanekaragaman hayati dll. Ketika persoalan tersebut dibenturkan dengan ancaman perubahan iklim, situasi menjadi semakin pelik. Semakin memanasnya dunia dan perubahan iklim akan menggoncang ekosistem disegala penjuru dan lapisan kehidupan.

Seirama dengan kesadaran politik, riset akademik mengkaji ‘lingkungan hidup’ turut meningkat. Walaupun sebelumnya kajian telah dilakukan di disiplin ilmu seperti biologi, geologi, hidrologi, geografi, arkeologi dll, Kesadaran untuk mengkombinasikan dan menghubungkan berbagai bidang pengetahuan tersebut datang baru-baru saja, terutama untuk mencapai aspek keberlanjutan pembangunan.

Aspek ini telah menjadi faktor pendorong yang merubah pola pikir riset lintas disiplin ilmu. Konsep dan upaya mencapai pembangunan berkelanjutan juga telah menarik perhatian pentingnya mengkombinasikan pengetahuan dari ilmu sosial dan alam. Kesalinterhubungan permasalahan lingkungan hidup juga mengakibatkan perlunya kerjasama inter dan intra institusi dari level lokal hingga global. Hasrat untuk memahami lingkungan hidup secara menyeluruh dan membangun solusi untuk mengatasi masalah lingkungan telah mengakibatkan proliferasi pusat kajian dan mata pelajaran yang fokus pada masalah lingkungan hidup. Ini adalah bentuk mengkristalnya transdisiplinaritas akibat tekanan imperatif lingkungan hidup.

Perspektif yang memfokuskan pada imperatif lingkungan hidup, mengakui permasalahan yang muncul hadir dalam konteks sosial dan alam yang terkait secara kompleks, penuh ketidakpastian dan tidak adanya batasan disiplin ilmu yang jelas. Lebih jauh lagi, mencari solusi untuk persoalan lingkungan hidup tidak hanya membutuhkan pemahaman atas lingkungan hidup dan ancamannya; tetapi juga harus mempengaruhi tindakan dan perilaku berbagai aktor di masyarakat.

Cara berpikir ini melihat solusi memerlukan produksi pengetahuan yang berdasarkan pendekatan sistemik menyeluruh ketimbang partial; tidak terkungkung oleh batasan pengetahuan yang ketat, bisa menghadapi kompleksitas dan ketidakpastian; dan mampu mengintegrasikan dan mengkomunikasikan pengetahuan diantara semua aktor dan antar bidang disiplin ilmu.

Pendek kata, pendekatan lintas disiplin penting dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang timbul dimasyarakat. Serta tekanan imperatif lingkungan hidup telah menjadi salah satu faktor pendorong praktek transdisiplinaritas dan kajian lintas disiplin ilmu lainnya. Karena itu dikala upaya kita memperdalam spesialisasi di dalam disiplin ilmu kita, ada baiknya kita memberikan perhatian juga pada kajian lintas disiplin ilmu.



[1] Cummings, R. J. (1989). The Interdisciplinary Challenge. National Forum, 69: 2-3.

[2] Miles, L. (1989). Renaissance and Academe. National Forum, 69: 15-17.

[3] Russel, A.Wendy, Et.all. “Transdisciplinarity: Context, contradictions and capacity,” Futures 40 (2008) p.460

[4] Nissani, Moti, Ten cheers for interdisciplinarity: The case for interdisciplinary knowledge and research. Social Science Journal, 1997, Vol. 34 Issue 2, p201

[5] Nissani, ibid, p202

[6] Ruscio, K. P. (1986). Bridging Specializations: Reflections from Biology and Political Science. Review of Higher Education, 10: 29-45.

[7] Russel, A.Wendy, Et.all. “Transdisciplinarity: Context, contradictions and capacity,” Futures 40 (2008) p.463

4 comments:

  1. Berbicara tentang studi dan kajian interdisipliner memang adalah sesuatu hal yang menarik.Namun kiranya permasalahan penggunaan dan stand point dalam masalah perspective methodology menjadi sesuatu yang bermasalah disini. Memang benar banyak sekarang jenis jenis metodologi yang transformatif dan dapat mendamaikan perang antara disiplin ilmu,tetapi pada praktiknya di lapangan "interdisiplinary" terkesan menjadi basa basi ( Mengutip Denzin;2001:92) ketika ada salah satu metodologi yang digunakan lebih dominan. Kita tidak dapat lupa,dit dalam karya ilmiah yang dihasilkan bagaimanapun (bahkan dalam konteks pendekatan kritis pun teknis-teknis ilmiah "popperian" tetap berlaku sebagai ukuran ukuran ke"ilmiah" an. merujuk pada feyerabend praktik praktik fasisme ilmu tentu sangat terasa disini?.

    Question: Apakah menurut adit epostimological anarchist menjadi satu satunya cara agar interdisiplinary pengetahuan dapat berjalan?.

    salam hangat
    Jibril Avessina

    ReplyDelete
  2. http://www.generation-online.org/p/fpfeyerabend1.htm

    http://www.marxists.org/reference/subject/philosophy/works/ge/feyerabe.htm

    ReplyDelete
  3. Naif sekali jika kita harus memisahkan ideologi dan power relation dari pendidikan.
    i would say that, tempting as an ideal, interdisipliner bisa berjalan tergantung ekspektasi seberapa jauh dia ingin menjawab permasalahan, dalam kerangka subjectivitas, ideologi dan power relation yang kontekstual.

    ReplyDelete